Hai Sobat Kincir!

Menyikapi resesi ekonomi yang menerpa negara-negara pengimpor udang seperti AS, Uni Eropa dan Jepang, produsen udang utama dunia juga menyesuaikan dengan perubahan pola konsumen di negara tujuan ekspornya. Salah satu paling banyak dirasakan sejak triwulan akhir 2022 lalu adalah semakin meningkatnya porsi permintaan udang berukuran kecil. Fenomena ini juga disertai dengan penurunan harga yang terjadi sejak menjelang pertengahan tahun.

“Krisis ekonomi pasca pandemi, konsumen dinegara maju masih mengkonsumsi udang, namun dengan ukuran yang lebih kecil,” ungkap Sekjen Forum Udang Indonesia (FUI) Coco Kokarkin. Coco pun mengungkapkan, petambak perlu menyikapi semakin tingginya biaya produksi. Terutama yang disebabkan naiknya harga pakan ditengah perubahan preferensi pasar dan penurunan harga udang. Dia pun menyarankan agar petambak melakukan penyesuaian manajemen budidaya, diantarany dengan memanen udang pada ukuran kecil. Panen ukuran kecil mempersingkat masa pemeliharaan, memperkecil risiko kegagalan dan memperbanyak frekuensi panen pertahun. Biaya produksi pun masih rendah.

Produksi udang kecil ini juga memiliki peluang ‘menang’ yang lebih besar dipasar ekspor. Sebab Ekuador sebagai pemasok utama udang dunia terkendala beberapa hal. Diantaranya luasnya petakan tambak dan ongkos tenaga kerja yang tinggi sehingga hanya akan efisien jika memanen udang besar. Sehingga udang kecil ini diprediksi hanya dapat diproduksi oleh negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Thailand dan Indonesia. “Lantas, siapa yang mampu memproduksi udang kecil dengan biaya rendah.

Thailand didukung oleh perusahaan-perusahaan perudangan besar. Vietnam mengaplikasikan teknologi secara progresif dan riset yang agresif. Penelitian mereka melibatkan 2-3 negara untuk satu tema, melalui potret Bisnis Udang Indonesia yan digelar secara daring akhir Januari lalu.

Tradisional (plus)

Indonesia, Coco Kokarkin menegaskan, sebenarnya mampu mengenjot produksi udang  ukuran kecil berbiaya rendah. Caranya, keluar dari kungkungan pemahaman bahwa budidaya udang harus berkepadatan tinggi dan panen ukuran besar. Dimana ujar Coco, mengubah orientasi panen tambak tradisional/tradisional plus dari panen besar ke panen kecil. Juga mengoperasikan tambak baru ataupun revitalisasi dengan sistem tradisional plus. “Kami tidak sedang meminta tambak intensif diubah menjadi tambah tradisional plus.

Tetapi kami mengajak tambak baru. Selain lebih mudah, juga lebih lestari daya dukungnya,” tandas dia. Coco mengungkapkan, mengenai padat tebar sebagai penentu sistem budidaya tambak yang diterapkan ini pelaku perudangan harus berkaca dari sejarah. Thailand dulu menebar kepadatan sangat tinggi, lalu hancur dan justru diperkirakan sangat sulit pulih.

“Vietnam dengan kepadatan menengah namun sempat hancur juga. Lalu ke India dan Ekuador, yang mempertahankan kepadatan rendah. India 70 ekor/m2 dan Ekuador 25/m2. Realitanya produksi mereka naik terus, SR (survival rate laju lintasan) tinggi dan biaya produksi bersaing, “dia mengungkapkan. Diapun melanjutkan dengan pertanyaan retoris.

Apakah di Indonesia ini memang cocoknya berkepadatan tebar tinggi?

Pertanyaan itu cukup dijawab dengan data, apakah produksi udang nasional memiliki kenaikan produksi progresif seperti Ekuador.

Produksi dan Perdagangan

Selain Coco, acara itu juga menghadirkan ketua Umum Asosiasi Produsen Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) – Budhi Wibowo. Budhi menyatakan, harga udang Indonesia lebih tinggi daripada udang negara lain karena biaya produksi juga tinggi. Hal ini menjadi faktor yang memperberat daya saing. Selisihnya pun signifikan, sampai dengan USD 1/kg diatas Ekuador dan USD 0,5 diatas India. Bahkan menurut coco, selisih harga dengan India pun hampir USD 1 pula.

“ India melakukan cara apapun untuk menurunkan biaya produksi ini di tambak mereka. Dibandingkan dengan Ekuador, survival rate (SR) udang tambak mereka sudah diatas 90%, “ungkap Budhi. Lebih gamblang, Budhi menerangkan dari volume perdagangan udang dunia yang besarnya sekitar 5 juta ton pertahun. Ternyata suplai udang dari Amerika (Ekuador, Meksiko, Brazil dan lain-lain) pelan-pelan naik. Udang asal Amerika (Selatan) mampu meraup pangsa 20% tahun 2021, sehingga saat ini boleh jadi sudah diatas 40%.

Sebaliknya, pasokan udang dari Asia termasuk Indonesia justru pelan-pelan turun. Diduga penyebabnya adalah tingginya ongkos produksi udang Asia, SR yang rendah dan masalah isu perdagangan global seperti kelestarian dan traceability (ketertelusuran). Indonesia yang dulu sempat diperingkat dua, kini harus puas di nomor 3 pemasok udang di AS dan peringkat 4 pemasok udang global. Coco pun menggelar data, Ekuador mampu meningkatkan produksi nasionalnya sebanyak 3 kali lipat dalam waktu 7 tahun, hanya mengandalkan sistem tradisional plus.

Sistem itu didukung oleh induk unggul tahan penyakit spesifik, padat tebar rendah, manajemen air yang bagus dan teknologi pakan alami dan adopsi automatic feeder bersensor mikrofon. “Teknologi feeder  yang sama sudah masuk ke Indonesia 10 tahun lalu. Tetapi kita sayangkan tidak direspon petambak. Padahal ini lebih unggul dibandingkan yang berbasis timer saja,” tutur coco. Hasilnya, Coco menguraikan Ekuador pada 2020 mengekspor 688.000 ton atau setara 3kali lipat ekspor Indonesia yang besarnya 240.000ton.

pada 2021 produksi mereka mencapai 841.000 ton dan pada 2022 melesat hingga tembus 900.000ton dan produktivitas tambak 4-4,5 ton per ha. Sebagai introspeksi, Cocopun menggarisbawahi status produksi udang domestik yang kurang menguntungkan, dikomparasikan dengan Ekuador.

Pertama, informasi teknologi dikuasai oleh pelaku tambak intensif.

Kedua, melupakan potensi dan masalah  udang tradisional Indonesia yang luasnya mencapai 300.000ha.

Ketiga, imbuh coco penerapan prinsip baru dianggap sebagai biaya investasi tambahan yang masih diragukan. Meskipun telah diterangkan prinsip teknologi itu yang bahkan dilengkapi dengan data-data ilmiah.

Keempat, penerapan prinsip baru sangat lambat, bisa 10tahun atau lebih, contoh: instalasi pengolah air limbah (IPAL) modern, teknologi autofeeder, water quality monitoring system dan biosekuriti.

Kelima, daya dukung lingkungan dikalahkan oleh target tonase panen.

Keenam, petambak masih menganggap kebanggaan kepuasan mereka ada pada keuntungan finansial.



Sumber: Trobos Aqua